Aparatur Negara

Perhitungkan Rekam Jejak dan Integritas

Banyaknya jumlah pegawai negeri sipil / aparatur sipil negara yang bermasalah dengan hukum, yang dipromosikan menjadi pejabat, menunjukkan bahwa masalah tersebut merupakan masalah sistemis. Hal ini bisa diantisipasi dengan pengaturan perekrutan pejabat yang lebih terkendali dan jelas kriterianya. Dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, menilai, pengangkatan pejabat bermasalah di sejumlah daerah merupakan akibat perekrutan birokrat untuk menduduki jabatan strategis yang sangat tergantung dari politisi. Atas nama kepentingan politik balas jasa atau dikorbankan supaya proses hukum tidak merembet kepada kepala daerah, kompensasi berupa jabatan pun diberikan.

Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, saat ini tercatat sekitar 474 pegawai negeri sipil (PNS) yang bermasalah dengan hukum dan menduduki jabatan di pemerintahan daerah yang tersebar di 19 provinsi. Mereka berstatus tersangka, terdakwa, ataupun terpidana. Gamawan memperkirakan, total jumlah pejabat yang bermasalah dengan hukum bisa mencapai 1.000 orang.

Ari mengatakan, meski di pemerintahan daerah ada Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan, penentuan pejabat daerah ada di tangan kepala daerah. Apalagi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, pembina PNS di daerah adalah kepala daerah. Menurut Ari, diperlukan kerangka regulasi supaya perekrutan pejabat birokrasi bukan berdasarkan pertimbangan politik. Sistem pengangkatan pejabat birokrasi harus lebih mengutamakan rekam jejak, kompetensi, kompetensi, dan integritas

Pemilihan pejabat bisa dilakukan oleh semacam komisi aparatur sipil negara yang independen yang bertugas menyeleksi dan menentukan calon-calon yang dinilai layak. Bisa juga seleksi dilakukan tim independen yang terdiri atas akademisi, pejabat pemerintah provinsi, dan pejabat pemerintah kabupaten/kota itu. Pengalihan tugas pembinaan PNS kepada Sekretaris Daerah, menurut Ari, juga dinilai akan memberi ruang untuk mengontrol sistem pengangkatan pejabat. Kekuasaan tidak sepenuhnya di tangan kepala daerah.

Rencana perbaikan sistem perekrutan pejabat tersebut baru akan dibahas dalam Rancangan UU Aparatur Sipil Negara ataupun revisi UU Pokok-Pokok Kepegawaian.

Sementara itu, dalam rangka mencegah korupsi oleh pejabat pemerintahan, penyelenggara negara atau pejabat instansi pemerintah wajib melaporkan gratifikasi yang mereka terima. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

Prinsipnya, pemberian dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan jabatan wajib untuk dilaporkan (menurut Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Sapto Pratomosunu, di Yogyakarta).

Selain melaporkan gratifikasi, setiap penyelenggara negara juga wajib memberikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) secara periodik.

Kompas

Post a Comment

0 Comments